Saya pernah memiliki kamera dulu, masih analog dan sebab kehadirannya adalah karena reward dari mami saya untuk lulus SMP dengan nilai yang baik dan tidak repot saat harus mendaftar ke SMA. Itulah kamera pertama saya, sebelum saya menyadari bahwa kamera yang saya gunakan itu ternyata tidak begitu terampil saya pakai. Cahaya yang tidak karuan konsepnya dan objek yang sering kabur sudah sering menjadi masalah utama saya. Saya senang memotret saat pergi ke tempat baru bersama teman-teman. Tapi yang bikin saya gondok adalah hasil foto yang susah payah dicetak dengan uang tabungan sendiri (yang roll fotonya juga beli sendiri) banyak yang berakhir dengan foto gelap tanpa gambar, terbakar dengan semburat merah atau muka yang jadi terlalu putih.
Ponsel kamera pertama yang saya miliki adalah saat kelas 3 SMA. Waktu itu, saya tidak sering menggunakan fasilitas kameranya meskipun ponsel saya juga memiliki kamera. Ini karena memori ponsel saya sangat terbatas, bahkan untuk nada dering saja harus benar-benar dipilih untuk tidak kebanyakan disimpan dalam ponsel dan memberati memorinya. Ponsel kamera yang biasa dan mungil, bukan jenis ponsel yang
hits dipakai anak muda pada masa itu, fungsinya pas-pasan tapi alhamdulillah.
Sekalipun fiturnya pas-pasan, tapi kamera ponsel saya sangat membantu ketika menjelang kelulusan dan kami diharuskan mengumpulkan foto untuk buku angkatan. Saya dan beberapa orang teman dekat yang merasa keberatan untuk dengan 'niat' berfoto di studio dan mengeluarkan biaya yang cukup lumayan kemudian berinisiatif untuk berfoto dengan kamera ponsel saya. Padahal saat itu kameranya masih VGA dan kualitasnya ya begitulah. Hanya saja karena digital, jadi begitu tidak puas dengan hasilnya kami bisa menghapus dan mengulang kembali pengambilan foto.
Cukup praktis dan efisien, ehmm hemat sih maksudnya :p Meskipun hasilnya ya... apa adanya, tapi tidak begitu beda jauh sama hasil foto teman lain karena cetakan buku angkatan kami juga bukan yang bening.
Ponsel Berkamera Kedua, Teman Setia di Perantauan
Ketika saya harus kuliah ke luar kota, adik saya duduk di sekolah menengah pertama dan mulai membutuhkan ponsel. Ponsel saya kemudian berpindah tangan ke adek dan orang tua membelikan saya ponsel baru dengan cara menambah uang tabungan saya untuk beli ponsel. Iya, orang tua saya adalah jenis orang tua yang demikian, kalau anaknya pengin sesuatu harus berusaha sendiri dengan menabung dulu, mereka cuma membantu kekurangan bukannya langsung memberikan barang yang diinginkan.
Ponsel baru ini cukup lumayan dan menemani saya hingga semester empat dimasa perkuliahan. Saat itu saya memakai ponsel sebagai teman kegiatan sehari-hari, sekadar memotret pelangi di langit perantauan, hujan berjam-jam diluar jendela kamar kos dan banyak kesempatan lainnya dimana saya pakai juga fitur kameranya untuk blogging dan media sosial. Saya turut serta dalam organisasi pers mahasiswa kampus sebagai anggota aktif pada tahun-tahun pertama, jadi ponsel tersebut selalu bersama saya untuk merekam wawancara, mengambil foto narasumber,peristiwa dan lain sebagainya. Pernah rusak dan membuat saya khawatir hingga susah tidur beberapa hari karena kerusakannya (dan karena khawatir biaya reparasinya mahal padahal
budget saya sungguh mepet) tapi berhasil sehat-sehat saja setelahnya. Saya baru harus benar-benar berpisah dengan ponsel itu ketika dalam sebuah perjalanan, saya kecopetan dan si ponsel raib begitu saja.
Dengan omelan mami selama berhari-hari, saya akhirnya kembali memakai ponsel jadul milik bapak yang seberat batu bata dan hanya bisa dipakai untuk telepon dan sms saja. Baterainya awet sih, hanya kadang-kadang suka mati sendiri karena perekat baterai sudah tidak bagus jadi sering lepas. Saya bertahan memakai ponsel itu selama beberapa bulan, sudah dalam fase tidak peduli dengan pandangan heran orang sekitar setiap saya sedang memakai si ponsel 'vintage' ala anak muda berselera 10 tahun kebelakang. Soalnya kalau mau beli ponsel baru lagi juga uang tabungan saya terlalu minimalis, sayang untuk dibongkar. Maklum anak kos di perantauan, banyak kebutuhan tapi tidak enak kalau sebentar-sebentar minta kiriman uang dari orang tua.
Hingga sampai dimana mami merasa kasihan, karena sering sekali pembicaraannya lewat telepon dengan saya harus terputus ditengah obrolan karena slot baterai lepas. Pada suatu liburan panjang usai lebaran, mami saya memutuskan untuk membelikan ponsel baru yang cukup bagus dengan harga yang bersahabat.
Tragedi Kehilangan dan Ponsel Berkamera Ketiga
Ponsel berkamera ketiga ini, meskipun hanya sebentar bersama saya tapi juga adalah ponsel yang paling tidak bisa saya lupa. Bukan karena layarnya yang bening, wallpaper bergerak dengan kualitas warna tinggi, bentuknya yang tipis dan handy bahkan bukan juga karena speakernya yang bagus. Tapi karena cerita setelah ponsel itu menjadi milik saya.
Karena masih baru, saya baru saja transfer nomor-nomor yang penting dari ponsel jadul dan buku telepon. Saat itu, ganti ponsel masih benar-benar merepotkan semua data harus dipindah satu per satu dengan manual. Tidak seperti sekarang yang mudah karena program backup atau aplikasi lain. Belum banyak file di ponsel baru itu, mungkin hanya sedikit lagu-lagu dan foto bareng mami dan adek saya yang barusan saja diambil. Agak tumben, karena mami saya bukan jenis orang yang suka foto-foto selain foto untuk keperluan administratif pekerjaan atau kependudukan. Sekarang pun saya tidak bisa membayangkan beliau selfie-selfie dan aktif di sosial media serta aplikasi chatting seperti kebanyakan orang tua teman-teman saya atau beberapa tante saya.
She's not that kind of person. Jadi saya heran aja kok kami berhasil mengajak mami saya selfie sebelum mami saya keluar rumah karena ada urusan.
Saya masih usia belasan tahun ketika itu, belum tahu apa-apa tentang dugaan apalagi firasat. Saya pernah mimpi buruk beberapa bulan sebelum kejadian, mimpi potong rambut tapi sungguh mimpi itu begitu mengerikan. Yang seram bukan kejadian potong rambutnya yang ala mimpi horor, tapi perasaan sakit dan sedih yang tidak tertahankan saat bermimpi. Terlalu sakit, meskipun ternyata cuma mimpi yang kata banyak orang adalah hanya bunga tidur semata.
"Mimpi itu artinya tidak baik tau, Nin!" kata seorang teman, saat saya bercerita keesokan hari.
"Mungkin aku terlalu banyak nonton film horror belakangan ini," saya menukas.
"Itu artinya akan ada yang meninggal dan masih berada dalam lingkunganmu,"
"Iya gitu?" kening saya berkerut.
Teman saya mengedikkan bahu, "beberapa kali terbukti dari cerita keluarga sih, bukan aku sendiri."
Kening saya masih berkerut dan tiba-tiba merasa khawatir, salah seorang paman saya ada yang sakit cukup parah. Beliaukah...? Saya bertanya dalam hati sebelum kemudian mengusir pikiran itu sendiri, saya merasa kurang ajar karena berpikir demikian. Tidak hanya seolah tidak percaya bahwa umur adalah rahasia Allah, tapi juga seolah menghakimi karena seseorang sakit maka usianya akan tidak lagi lama.
Bulan-bulan berlalu tanpa ada kejadian spesial, apalagi kabar buruk. Kondisi paman saya semakin sehat dan saya bersyukur bahwa yang saya dengar dari teman saya hanyalah hipotesis dan bagian dari mitos.
Hingga kejadian ini terjadi, begitu cepatnya sampai nyaris seperti kilat. Terdengar tanpa terlihat, sekilas tapi meninggalkan kerusakan yang serius dan rasa sakit yang lama saat hari itu tiba.
Usai lebaran, di kota kami mengenal tradisi semacam acara syukuran dengan makan-makan besar. Memasak ketupat dan makanan dalam jumlah banyak kemudian dibagikan ke tetangga sekitar rumah dan orang-orang kurang mampu tidak jauh dari lingkungan rumah. Tradisi ini disebut orang dengan nama lebaran ketupat. Mami dan bapak berasal asli dari kota saya itu, sebuah kota kecil di provinsi Jawa Timur yang tidak populer.
Saat lebaran ketupat, mami saya biasanya akan memasak seharian di rumah kakek saya bersama saudara-saudaranya yang lain. Nenek saya qadarullah sudah tutup usia lebih dahulu. Bapak ada urusan yang berhubungan dengan bisnisnya, mami meminta saya menemani ke rumah kakek dengan naik motor. Sore itu saya menyanggupi dan memasukkan ponsel saya ke saku celana. Tidak biasanya, mami meminta saya membonceng di belakang dengan membawa belanjaan. Kemarin-kemarin sayalah yang selalu menyetir dan mami membonceng dibelakang setiap kali beliau minta diantar kemanapun, bahkan ke pasar atau saat akan berangkat mengajar. Adek jaga rumah karena bapak tidak membawa kunci sejak keluar rumah pagi tadi.
Tidak seperti ibu-ibu kebanyakan yang saat ini sering menghiasi meme dengan kebiasaan memberi tanda lampu ke kiri padahal belok ke kanan, lagi-lagi mami saya tidak seperti itu. Beliau sudah mengendarai motor sejak lebih dari setengah umurnya saat itu dan mengendarai motor ala beliau adalah kecepatan sedang, mematuhi tiap peraturan dan plang lalu lintas juga memakai tanda lampu motor sesuai dengan fungsi.
Di tengah perjalanan, sesuatu terjadi. Entah apa. Yang sampai ke ingatan saya hanyalah suara kencang benturan dan kemudian gelap, senyap. Telinga saya beberapa saat kemudian menangkap suara ribut dan ramai orang-orang kemudian sepi lagi. Saksi mata menyatakan bahwa mami saya berhenti di pinggir jalan ketika sebuah mobil besar melaju kencang dari arah sebaliknya dengan sopir yang diduga mengantuk atau entah mabuk. Mereka bilang tabrakan sedemikian keras karena mami saya sampai terbang dari motor cukup jauh sebelum terhempas dengan tulang tubuh yang patah begitu banyak dan saya entah bagaimana menderita patah kaki dan luka gores dalam hingga tulang kaki saya nampak dari luar.
Sempat saya tersadar untuk mendapati sedang terbaring dalam sebuah mobil bak dengan alas seng panas terbakar matahari, bersama dengan kerumunan orang yang hampir semuanya tidak saya kenal dan samar-samar. Tidak ada sakit yang saya rasakan ketika tersadar, hanya panas alas mobil bak yang usai dimanja matahari menyiksa saya sebelum semuanya gelap kembali bagi mata saya.
Lucu, dengan cara yang ironis. Saya yang mengalami ini ditempat kejadian tapi justru tahu paling akhir. Tahu bagaimana penjelasan dari semua kejadian itu belakangan. Tahu kondisi fisik saya sendiri belakangan dan tahu bahwa mami saya rahimahullah juga belakangan. Kerabat memberikan penjelasan yang tidak sesuai kenyataan, bahwa mami saya sudah enakan di ruangan lain. Saya tahu bahwa penjelasan itu tidak sesuai dengan apa yang saya duga, tapi saya diam saja. Padahal kondisi orang-orang yang banyak menengok saya di rumah sakit tidak menggambarkan hal itu. Bagian hati saya tahu, ada berita duka.
Pandangan yang menggelap menjelang kejadian seperti istilah
vision burn yang pertama saya dengar dari lagu sebuah band luar, kenangan yang terpecah seperti potongan gambar puzzle berserak tidak beraturan menjelang perginya kesadaran yang saya alami itu ternyata ada, bukan hanya bualan dalam buku-buku dan lagu.
Mendengar kondisi terakhir mami saya yang luka parah di kepala dan tulang tubuh yang banyak patah, hati saya merasa sakit meskipun saya tidak menangis. Tapi menjalani hidup sebagai anak usia belasan dengan adik saya yang baru masuk SMA kelas 1, masuk usia yang rawan-rawannya dalam hidup, butuh arahan dan bimbingan ternyata tidak mudah. Tidak mudah kehilangan ibu dalam usia seperti ini, harus vakum dari dunia perkuliahan sementara dan terlebih dengan kondisi keluarga yang tidak stabil sesudahnya.
Saya tidak marah akan kehilangan, pun pada Allah. Tapi kondisi rumah saat itu yang tidak baik dan banyaknya kenangan saat saya harus tinggal di rumah dalam waktu lama, ternyata kerepotan untuk dapat saya tangani. Hubungan dengan bapak yang memburuk, sifat bapak yang jauh berbeda telah berubah bahkan sanak keluarga pun yang dulu dianggap dekat malah mengambil keuntungan dari kondisi keluarga kami yang sudah seburuk itu. Masa ini adalah salah satu masa sulit dalam hidup saya.
|
FOTO TERAKHIR YANG BERHASIL SELAMAT |
Ponsel berkamera yang baru saja dibelikan mami saya ketika saya pulang untuk mudik kemarin, hancur dan pecah saat terjadinya tabrakan. Foto si adek dan mami saya yang diambil dengan ponsel itu, untungnya sempat dikirim melalui bluetooth ke dalam ponsel adek sehingga masih terselamatkan. Foto itu sampai sekarang masih kami simpan sebagai foto terakhir dari mami. Adek saya menyesal mengapa tidak mengambil banyak foto bersama waktu itu, namun dia sama seperti saya tentu tidak paham apa yang sesungguhnya akan terjadi berikutnya. Hanya Allah lah yang paling tahu.
Tapi saya harap beliau tahu bahwa anak-anaknya tumbuh dengan baik, sekalipun kami bukan orang-orang inspiratif yang diliput dalam media sosial atau televisi. Namun saya merasa puas, kami tumbuh dengan baik dalam kondisi yang serba sulit. Tidak bergulat dalam pergaulan negatif atau pengaruh kurang baik serta cukup sukses dalam dunia akademi, tidak macam-macam dan lulus kuliah tanpa molor. Dengan kemampuan yang terbatas dan naik turunnya iman, kami adalah juga hamba yang berusaha untuk terus mendekatkan diri pada sang pemilik hati dan nyawa kami demi kebutuhan kami akan cintaNya dan demi aliran pahala kepada orang tua kami. Semoga beliau juga merasa bangga, meskipun tidak berada bersama kami dalam masa-masa yang paling sulit dan paling penting.
|
SHE'S MY WHOLE WORLD. Foto ini adalah foto yang terus saya bawa sejak kembali merantau, berjuang lulus kuliah, menyambung hidup dengan menulis sambil melamar kerja, masuk kerja dan berpindah-pindah hingga saat ini. Karena hilangnya file foto kamera ponsel (beserta ponselnya) dengan beliau dan banyak foto-foto yang hilang pasca mami saya rahimahullah karena berbagai sebab. |
|
SAYA DAN MAMI DALAM ILUSTRASI : Jika beliau masih ada dan mendampingi saya saat menikah. Semoga Allah senantiasa mengasihi beliau :') |
Ponsel Berkamera dan Saya, Saat Ini
Tentang saya dan ponsel berkamera saya saat ini, setelah kehilangan besar yang melubangi hati saya dan adek ketika itu... saya jadi lebih banyak mengambil foto untuk menyimpan kenangan. Baik bersama keluarga, suami dan teman-teman. Ponsel dengan kamera, bagi saya tidak lagi menjadi kebutuhan pendukung tapi sudah jadi sebuah keharusan karena praktis untuk mengabadikan momentum. Bukan karena narsis akut, tapi juga sebuah kebutuhan akan terekamnya banyak kenangan. Baik yang menyenangkan, membuat kesal atau sedih yang saya lewati bersama mereka.
BERSAMA TEMAN-TEMAN
MOMEN BERSAMA KELUARGA
Saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengabadikan dan menyimpan foto bermuatan kenangan dengan cerita dibaliknya yang biasanya saya tulis ulang dalam jurnal pribadi agar tidak terlupa. Foto, tulisan dan ilustrasi bagi saya adalah the best memory keeper. Tidak akan disesali pernah disimpan.
Ponsel berkamera saya juga yang menemani saya untuk mengambil banyak foto untuk keperluan pekerjaan, blogging maupun lomba menulis. Selama ini hasil fotonya cukup bagus meskipun kameranya tidak sekeren Zenfone 2 Laser ZE550KL dengan kamera belakang 13 MP, kamera ponsel saya masih dibawah ponsel ini jauh. 10 MP tidak sampai. Kamera depan 5 MP, lagi-lagi ponsel saya tidak ada yang setinggi itu kualitas pengambilan gambarnya.
Jujur, karena tulisan ini saya ikutkan dalam kontes tanpa persiapan khusus dalam waktu yang masih 'beraroma' hari raya, saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengambil foto dengan Zenfone ASUS ini. Tapi pada saat saya masih bekerja tahun lalu, teman-teman satu kantor saya kompak membeli Zenfone ASUS dari sebuah e-commerce karena kadar kecakepan ponsel ini. Fasilitas yang keren di kalangan ponsel android, kamera yang terbilang tinggi megapixel-nya juga harga yang tidak seperti bawang kalau dilihat (bikin nangis) menjadi alasan mereka ramai-ramai membeli ponsel keren ini.
Saya juga sudah pernah mencoba utak-atik ponsel Zenfone keluaran ASUS milik teman-teman, sungguh cakep sekali dari desain luar sampai dalamnya. Selain cakep
overload, ponsel ini uniknya juga sangat
user friendly, tidak sulit dioperasikan bahkan untuk pengguna baru. Saya juga pengin beli setelah melihat kadar cakep ponsel Zenfone ini, tapi saat itu ponsel saya sudah dua dan keduanya berfungsi dengan baik sehingga suami tidak mengizinkan beli. Beda dengan sekarang, ketika ponsel saya yang satu sudah minta pensiun karena
software-nya sudah lambat luar biasa padahal tidak banyak data yang saya simpan dalam ponsel. Ah semoga ada rezeki memiliki ponsel Zenfone ASUS ini, insyaAllah :)