taken from Cineplex |
"Oh ya?" saya bertanya, ikut memandangi layar tablet suami yang menunjukkan informasi daftar film dan film yang ditunjuknya, Deepwater Horizon.
"Duh malas sih..." kata saya.
"Ratingnya bagus lho," kata dia. Saya masih memasang wajah kurang antusias, terutama karena seminggu lalu kami juga baru nonton film dengan cerita yang mirip. Sama-sama bertema tentang kecelakaan sih, tapi kecelakaan pesawat terbang tapi sama-sama film yang diangkat dari kisah nyata.
"Ngomong-ngomong kalau benar diambil dari kisah nyata berarti gede dong ya kerugiannya?" tanya saya, merujuk pada film tentang kecelakaan tambang minyak lepas pantai itu. Nggak kebayang berapa alat yang rusak dan fasilitas perusahaannya pun juga.
"Yah kayak gini mereka memang sudah siap untung, sudah siap rugi." kata suami.
"Satu tempat pengeboran lepas pantai gini ini baru dibangun setelah penelitian sedemikian lama dan tentu mengurus persyaratan terkait izin usaha migas di tempat tersebut, bahwa di tempat itu memang ada minyak bumi yang bisa ditambang. Sekalinya bener-bener ada minyak bumi disitu yang bisa keluar saat di bor maka ya perusahaan untung besar jadinya, off shore itu mahal banget pembiayaannya dan kalau tempat itu beneran bisa dibor minyak buminya maka perusahaan bisa bikin beberapa tempat lain untuk nambang minyak juga. Tapi kalau sudah rugi karena tempat tersebut ternyata nggak ada minyaknya atau mungkin minyaknya nggak bisa dikeluarin ya sudah bubar. Perusahaan bahkan bisa gulung tikar karena ini," lanjutnya.
Hmm, saya manggut-manggut. Informasi yang barusan dia sampaikan benar-benar baru bagi saya. Dia dulu memang pernah hendak bekerja di offshore namun belum sampai terjadi karena ada prioritas yang lebih besar dan pencapaian prioritas itu hanya bisa dilakukan jika dia tidak berada jauh di luar kota.
"Habis baca dari bkpm.go.id perizinan usaha migas ini sekarang sudah semakin sederhana saja. Sebelumnya kurang lebih 80-an perizininan, eh tahun ini cuma tinggal 10 aja. Beberapa tahun yang lalu bahkan diatas 100 perizinannya. Mumet ya ngurus perizinan aja sebanyak itu, mungkin yang ngurus dari mulai jomblo sampek beranak dua baru kelar tuh." timpal saya.
"Kayaknya sih layak, lha untungnya juga banyak kan. Sepadan sama ribetnya." dia tertawa geli.
Perizinan yang lebih mudah ini mungkin akan meningkatkan sektor migas di negara kita dan banyaknya serapan tenaga kerja.
Tapi ngomong-ngomong berapa banyak ya putra indonesia yang memiliki usaha di sektor ini? Mungkin saya kudet karena kurang tahu nama-nama jelasnya. Mungkin teman-teman tahu siapa aja?